Banyak cara manusia merayakan tahun baru dari yang paling mainstream dengan cara meniup terompet, menari-nari dengan kembang api serta meledakan petasan ke angkasa dan menaruh harapan agar kenangan pahit pada tahun sebelumnya dapat melebur bersama residu kembang api.
Akan tetapi untukku, ada cara lain untuk menyambut datangnya pergantian tahun. Aku lebih memilih untuk bersyukur serta merenungkan tahun sebelumnya. Bersyukur atas apa yang aku terima, dan merenungkan apa yang pernah aku perbuat. Menyakiti, atau disakiti semua itu mungkin kita pernah lewati pada tahun sebelumnya, bukan?
Banyak orang yang bilang tahun baru, akan ada semangat baru, hari yang baru serta menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari tahun sebelumnya. Namun, menurutku semua itu bisa terjadi, bisa juga tidak terjadi. Karena, tahun baru itu bagaikan poros roda yang kita tidak bisa memprediksi akan melangkah kemana kaki ini berpijak? Bisa saja kita menjadi jauh lebih buruk, atau memang jauh lebih baik, aku harap kita semua menjadi yang kedua.
Semua, menaruh harapan untuk yang terbaik, namun jika belum menjadi yang terbaik pada tahun berikutnya banyak yang menyerah mengejar apa yang di cita-citakan. Itulah, mengapa aku memilih untuk bersyukur atas apa yang aku terima pada tahun sebelumnya. Agar tidak terlalu pahit hari yang terjalani, yang melebihi pahit patah hati.
Letupan residu kembang api, menyinari langit malam membias bersama jutaan sorak-sorai penikmat pergantian tahun. Terompet mulai di tiupkan, suara bising kendaraan mereda pada tengah malam. Jutaan pasang mata, muda-mudi yang kasmaran menaruh harapan agar hubungan mereka berlanjut ke dalam janji suci pernikahan. Dan, aku aminkan.
Semoga pada tahun yang baru ini, kita semua dapat membuka satu episode baru yang jauh dari tangis haru, dan berganti rupa menjadi bahagia yang terharu.
Dari aku untuk kalian.